Hai sobat movies.. panggilan untuk penyuka karya seni berupa film. Yuk merapat yukk!!
Saya memang termasuk pencinta
film, oleh karena itu setiap minggu pasti setidaknya saya menonton satu film.
Nah minggu ini, saat sedang scrool di akun
Netflik tiba-tiba perhatian saya tertuju pada jenis kartun yang asing berjudul “The
Willoughbys”. Poster film tersebut tampak menarik, memperlihatkan empat orang
anak kecil berambut merah berada di pelukan seorang perempuan bertubuh besar.
Karena posternya sudah menarik
perhatian dengan warna merah sebagai warna yang dominan, saya pun tertarik
untuk menonton film tersebut. Namun berlainan dengan warna kartun yang cerah
dan gaya animasi yang unik dan lucu. Film tersebut membuat saya merasa tidak
nyaman dalam beberapa hal.
Jika kamu pernah menonton film
animasi bernama “Coraline” kamu mungkin merasakan adanya ketidaknyamanan atau
perasaan cemas ketika menonton film tersebut. Hal ini tak lain karena meskipun
film tersebut merupakan film animasi, genre yang diusungnya merupakan genre
horror.
Nah, jika kamu merasakan perasaan
psikologis yang terguncang ketika menontonnya maka genre horror nya dapat
dikatakan berhasil. Berbeda dengan film “The Willoughbys” yang sama sekali
tidak mengusung tema horror. Film
animasi tersebut keterangan yang
tercantum disebut kan mengangkat genre komedi dan drama.
Akan tetapi pengalaman yang saya
rasakan saat menonton film tersebut bukanlah perasaan yang biasanya muncul saat menonton komedi lucu yang menggeliti
perut, melainkan ketidaknyamanan psikologis. Sampai-sampai memerlukan waktu dua
hari bagi saya untuk menonton film yang berdurasi 92 menit tersebut sampai
ending.
The Willoughbys merupakan sebuah
film animasi yang diangkat dari sebuah buku jadul karangan Lois Lowry, film
tersebut realis pada tahun 2020 lalu dan digarap oleh Kris Paern
dan Cory Evans, Amerika Serikat-Kanada.
Ciri khas yang paling menonjol dari
film tersebut adalah style dan teknik yang digunakan dalam pengambilan setiap
adegan, dengan teknik stop motion yang diambil mampu mambuat saya merasakan
sensasi yang sama saat menonton film Coraline.
Topik yang diusungkan pun sangat
menarik, menggambrakan keadaan empat orang
bersaudara yang hidup dalam rumah, dimana orangtuanya terlalu sibuk
memadu kasih sampai-sampai anak-anak menjadi korban.
Kerusakan susunan keluarga nampak
sangat jelas digambarkan film tersebut. Bentakan, pengabaian, penyiksaan
psikologis dan fisik yang sangat pekat. Oleh karena itu dampaknya sangtlah terlihat jelas terhadap karakter anak pertama. Dimana ia tumbuh
menjadi pribadi yang penakut, pengecut dan mempunyai trust issue.
Film ini juga menyisipkan dengan
detail metapora-metapora yang berkeliaran dalam setiap adegan. Salah satunya adalah
rambut merah setiap empat anak tersebut yang terlihat seperti benang. Yang dapat
diartikan sebagai simbol hubungan dalam kekeluargaan, yarn conection.
Namun terlepas dari kengerian yang
saya rasakan dari film tersebut, film tersebut memberikan pesan bahwa seseorang
yang lebih dekat kepada kita bisa saja bukan berasal dari keluarga. Karena keluarga
sesungguhnya terlepas dari darah yang diturunkan, juga merupakan hubungan
dimana terdapat kepercayaan, kenyamanan dan kasih sayang.
Selain itu, saya pribadi dapat
mengerti kenapa film tersebut sangat
menarik, hal ini karena tak lain “The Willoughbys” memberikan perspektif yang
unik dalam memandang sebuah penderitan, menjadikan setiap luka seolah komedi
yang hanya menggelak tawa. Tak melihat darimana kita berasal, kita semua berhak
untuk mendapatkan kebahagiaan.
3 Komentar
wah sampai dua hari ya mbak nontonnya..Jadi pengen juga tahu dengan sendirinya,. bagaimana keseruan alur ceritanya
BalasHapusKebetulan banget nih aku juga suka nonton kartun yang begini, otw nonton deh
BalasHapusMenarik sekaligus saya jadi tergelitik untuk menontonnya, apalagi ada kata-kata dari kak Hila kalau dalam film ini ada kekerasan verbal. Kira-kira apakah film ini layak untuk ditonton anak dibawah 10 tahun?
BalasHapus