Karmantel Ibu (CERPEN)

Cocke Lane, jalanan yang kuinjak ini memilki nuansa yang kental akan kepekatan warna hitam berdosa. Atau mungkin hanya aku yang menganggapnya begitu? 

Setiap langkahku di kelilingi bangunan kokoh angkuh yang menyombong ria. Mereka menutup pintunya rapat ketika tak sengaja ku lihat mereka tertawa dalam balutan mantel-mantel berbulu mahal yang pastinya terasa hangat. Seolah membiarkanku melihat kehangatan mereka barang semenit saja akan membawa pada sebuah musibah.

Ya, beruntungnya mereka. Berselanjar kaki menikmati acara televisi dengan mantel-mantel tebal yang melekat. Jangan lupakan bangunan tempat mereka bersembunyi, kokoh dan kuat, tak membiarkan udara dingin yang menggigit ini mencari celah barang sekecil pun.

Bagaimanapun, aku selalu iri dengan rumah orang. Hangat dan nyaman. Rumah yang menjalankan fungsinya dengan benar. Bukan rumah berpenghuni yang kehilangan kehangatan dan rasa aman yang harusnya menjadi bagian darinya. Rumahku jauh disana, rumahku telah pergi. 

Malam, dingin dan gelap, ku rekatkan kembali jaket yang menempel ditubuh, berusaha menempelkan kain yang sudah tipis itu dengan tubuh yang tersisa tulang ini. Mengedipkan mata, aku berusaha melihat jalanan yang masih terhampar di depan sana.

Kondisi jalanan yang sempat diterpa air hujan membuat sepatu juga kaos kakiku basah, menyalurkan hawa dingin yang membekukan pada kulit kakiku. Kepalaku tak henti-hentinya terasa berputar membuat perjalanan terasa lebih panjang. Dengan langkah sempoyongan, aku hanya mengandalkan pantulan sinar lampu jalan.

Setiap langkah terasa semakin berat dan menyiksa tubuh. Sesuatu membisikan keraguan, apakah semua yang telah ku lewati ini sepadan? Tetesan air melewatii pipiku, tak perlu repot-repot menyekanya, pipiku malam ini memang sudah ku rencanakan akan menjadi sungai deras akibat telah lama dibendung.

Tak kuat mempertahankan keseimbangan, tembok dengan batu bata merah menjadi sandaran punggungku. Namun ternyata ia tak cukup membantu, kepala yang terasa berputar-putar serta badanku yang telah kehilangan energi akibat berjalan sepanjang hari mempertemukan wajahku dengan aspal jalanan, material kasar yang menghantarkanku pada ketidaksadaran yang merayap secara perlahan.

Lama terdiam dalam keheningan, sesuatu terasa mulai aneh. Jalanan entah berantah yang telah ku telusuri lambat laun membentuk siluet jalanan familiar yang ku rindukan.

Rumah-rumah pinggir jalan yang menjadi saksi masa kecilku kini berada persis di kanan-kiriku. “apakah ini semacam patamorgana?”. suara tawaku yang melengking tak mampu membangunkan para penghuni rumah di sepanjang jalanan ini, buktinya tiada seorangpun datang memandangiku dengan penuh penilain, meludahi ekesistensi keberadaanku kemudian mengecak pinggang dan bersongot-songot mengatakan "dasar manusia buangan".

Angin dingin membelai badanku dengan kejamnya. Kembali memeluk erat diri sendiri, kupejamkan mata, berusaha berpikir bahwa semua ini tidak nyata. Aku tidak sekarat menyedihkan saat ini. Aku berada di rumahku, menikmati kopi hangat dengan kertas-kertas yang berserakan di mejaku.

Tiba-tiba sebuah sinar terang menarik perhatiaku. Pandanganku tertuju pada bangunan kelabu yang berada di barisan paling ujung dari kompleks perumahan yang tengah ku pijaki saat ini. Dari jauh dapat kulihat lampu-lampu di setiap ruangan samar-samar masih bersinar memancarkan cahaya kuning lembut yang membuatku mengingat kembali kenyamanan yang masih hidup disana.

Bagaikan sebuah mantra, Kaki yang sedari tadi terasa tak bertenaga ini melangkah lebar dengan cepat. Melewati setiap rumah yang berjejer di kanan dan kiriku.

“Bu?!”

Suara besi berkarat termakan usia terdengar saat ku buka pagar rumah.

“Bu?!”

Mencari sosok ibu, aku dengan pasti berlari menuju halaman belakang dan kutemukan rumput panjang tak terurus telah memenuhi pekarangan. Satu pohon kokoh besar berdiri tegak menggandeng ayunan kecil yang bergerak-gerak kecil tertiup angin.

Perasaanku membuncah, tanpa bisa diungkapkan. Aku hanya berlari cepat menuju arahnya. Ku peluk pohon tinggi kokoh itu, merasakan kehangatan pelukannya yang telah lama tak kudapatkan.

Dulu sekali, tempat ini merupakan tempat favoritku juga favorit ibu untuk bermain. Ibu membawa pakaian yang akan di keringkan, sedang aku bermain, membawa bola atau sekedar kotor-kotoran.

Ibu merupakan seorang penyayang, ia senang membelai dan memelukku. Membuatkanku makanan enak, menceritakanku sebuah dongeng setiap malam. Ia adalah rumahku.

Namun, ketika ayah pergi menuju “rumahnya yang baru”, ibu berubah, ia sering terdiam atau melamun tanpa alasan, tempat penuh kebahagiaan ini secara perlahan menjadi tempat ibu menangis dan tertawa sendirian.

Ibu berubah, ia semakin jarang memberikan belaian di kepalaku, atau usapan tangan hangatnya di punggungku. Ia tidak tersenyum ataupun marah, ia hanya terdiam.

Suatu hari ia memelukku dengan erat, aku tersenyum bahagia, "akhirya ibuku kembali" ketika bibirnya mencium keningku aku memeluk pinggangnya dengan erat yang dibalasnya dengan senyuman. Ia kembali memelukku sebelum kemudian berbisik merdu di telinga kiriku.

“ibu pergi dulu”. Aku mengangguk setuju, beberapa menit kemudian yang kulihat hanya tubuh yang terbujur kaku. Tidak seperti ibu yang selalu menjawab semua pertanyaannku, kini ia hanya terdiam, menggelantung, tapi mungkin ia masih mendengar tangisanku.

Sudut bibirku tertarik membentuk sebuah senyuman bahagia, namun air mata tak hentinya menetes melewati pipiku.

“aku juga pulang bu” dengan karmantel di leherku, aku meloncat. Membiarkan jalur penapasan terhenti dan rasa sakit memakan tubuhku secara perlahan.

 

Posting Komentar

4 Komentar

  1. Endingnya dark banget ini, :" aku enggak nyangka bakal segitunya. Kupikir si aku akan membawa ibunya ke rumah sakit.

    BalasHapus
    Balasan
    1. 😁Sebenarnya di dunia nyata dia blm meninggal, melainkan masih sekarat terkapar di aspal perumahan orang.
      Efek dari obat2an dan minuman yg dikonsumsi bikin kepalanya pusing dan berhalusinasi seolah2 dia kembali ke rumah dan bertemu ibunya yg sidah lama meninggal

      Hapus
  2. Ending-nya kenapa? Kenapa se plot twist itu kak Hilla?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe, iya nih kak. Pengen coba bikin cerpen yg ada dark nya 😅

      Hapus